April 29, 2020
Maret 16, 2015
Menciptakan setan yang sangat jenius
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu'alaikum.wr.wb,
Syukur alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah S.W.T, dengan rahmat dan karunia-Nya kita dapat bertemu kembali melalui tulisan ini dan shalawat beriring salam semoga dihadiahkan Allah S.W.T kepada Rasullullah S.A.W, yang dengan risalah yang ditinggalkannya, insya Allah selamat kehidupan kita di dunia sampai ke kehidupan di akhirat nanti, Amiin.
Pembaca yang budiman,
Sebuah pigura bertuliskan mendidik manusia tanpa ajaran agama adalah sama saja dengan menciptakan setan yang sangat jenius. Tulisan yang sangat mengena sekali jika dipahami dengan baik. Betapa tidak, karena yang ditujukan dengan pelaksanaan pembelajaran itu adalah perbaikan akhlak individu kearah yang lebih baik dari dasarnya yang tidak berilmu pengetahuan, lalu dididik menjadi insan yang berilmu dan diharapkan dengan ilmu yang dimilikinya, diterapkannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Ajaran agama-lah yang dinilai mampu menjembatani kekosongan yang dicari dan dibutuhkan oleh manusia itu. Adapun agama yang dinilai mampu menjembatani kekosongan yang dicari dan dibutuhkan itu adalah agama Islam. Islam adalah agama yang sempurna. Islam mempunyai catatan dari adab melakukan apapun kegiatan manusia diatas dunia ini mulai dari adab bangun tidur sampai dengan adab tidur. Tinggal pelaksanaannnya dalam kehidupan kita setiap hari.
Dikembalikan keper-soal-an semula tentang kegiatan mendidik manusia dengan ajaran agama, apakah tanggung jawab itu merupakan tanggung jawab sekolah atau tanggung jawab orang tua?
Yang pasti di sekolah hanya melaksanakan pendidikan tentang ilmu pengetahuan, seperti di SMP hanya melaksanakan pendidikan Agama Islam, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan pendidikan mata pelajaran lainnya. Begitu juga halnya dengan pendidikan di SD dan di SMA.
Pendidikan ajaran agama dan budi pekerti adalah tugas utama orang tua si anak di-rumah tangga-nya. Tugas lain yang ada di pundak orang tua untuk mengajarkan cara ber-budi pekerti di rumah. Tidak bisa tidak, tugas ini tidak dapat diwakilkan kepada siapapun. Masalahnya sekarang adakah orang tua yang bersangkutan mempunyai pengetahuan tentang ajaran agama dan budi pekerti tersebut dan menerapkannya dalam kehidupannya agar bisa dicontoh oleh si anak. Yang banyak terjadi adalah banyak orang tua itu sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran agama dan budi pekerti. Maka jangan heran anak-anaknya juga tidak memiliki pengetahuan ajaran agama dan budi pekerti. Bahkan banyak orang tua menyerahkan persoalan mengenai ajaran agama dan budi pekerti ini ke sekolah tempat si anak menggunakan setengah hari siangnya, yaitu di sekolah.
Observasi yang pernah penulis lakukan mengenai ajaran agama dan budi pekerti kepada peserta didik di sebuah SMP yang tidak mau mengikuti kegiatan shalat berjama'ah di mushalla sekolah,
Guru: Kenapa kamu tidak ikut shalat berjama'ah?
Murid: Ayah wak so indak sumbayang, Pak (bhs. Minang) ; (Ayah saya saja tidak sholat, Pak!)
demikian si anak menanggapi panggilan si guru.
Semoga yang ada dilapangan, Agar si Bapak ini ditunjuki hatinya untuk menunaikan kewajiban shalati, dan Allah S.W.T menunjuk-i hatinya si anak ini agar mau untuk melakukan shalat itu.
Artinya lagi tulisan ini berharap semoga mampu mengklarifikasi bahwasanya tugas mengajarkan ajaran agama dan budi pekerti itu adalah tugas orang tua murid di rumah sedangkan tugas guru di sekolah adalah membekali anak didik dengan pengetahuan mata pelajaran tertentu.
Terakhir, ucapan maaf dari penulis kalau ada kata yang salah dan tidak pada tempatnya dan penulis akhiri dengan
Assalamu'alaikum.wr.wb.
April 05, 2014
Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran
Dilema yang dihadapi SMP Negeri di daerah pinggiran (Sekolah
negeri yang berjarak < 10 km
dari pusat kota kabupaten atau kotamadya) memang tidak akan ada habisnya untuk
dibicarakan, namun selalu menarik untuk dibaca, terutama dalam upaya kepala
sekolahnya untuk tetap menjaga ke-existensi-an
(keberadaan) sekolahnya dibalik persaingan Tsanawiyah, sekolah lanjutan pertama
sederejat yang dikelola Kantor Departemen Agama yang juga memperebutkan tamatan
dari sekolah dasar yang sama sebagai calon peserta didiknya.
Sebutan sekolah
pinggiran tadi bukan tidak menyisakan persoalan sama sekali, sebut saja dalam upaya
meningkatkan jumlah peserta didik tiap tahunnya walau sekolah pinggiran itu sudah mengiming-imingi
bahwa sekolahnya mempunyai jumlah guru bidang studi yang cukup, cakap dan
profesional di bidangnya, tersedianya fasilitas iptek (ilmu pengetahuan dan
tekhnologi) berupa komputer dan internet, adanya fasilitas olahraga seperti
lapangan volly, basket, dan atletik, dan kegiatan ekstra kurikuler misalnya O.S.I.S
(Organisasi Siswa Intra Sekolah), pramuka, sholat Zuhur berjama’ah, P.M.R
(Palang Merah Remaja), Pentas Seni dan Muhadarah, namun jumlah peserta didik
yang mendaftar hanya bertambah 0.1 persen setiap tahunnya.
Melihat
kepada jumlah pendaftar yang demikian
kecil, kepala sekolah di SMP Negeri di daerah pinggiran itu menjadi getir hati juga.
Sebuah kecemasan yang cukup beralasan, jangan-jangan malahan pada masa
kepemimpinannya seluruh perangkat yang ada disekolahnya terpaksa dipindahkan ke
sekolah sederjat karena jumlah peserta didiknya sudah sangat sedikit sekali
dari ukuran normal. Jika ini terjadi, untuk bangunan sekolah yang telah
ditinggalkan itu tepatlah pantun orang tua kita:” pisang sikalek-kalek hutan, pisang batu nan bagatah, dikecek-an sikola
bukan, dikecek-an rumah hantu antah.” Sekolah bukan, peserta didiknya tidak
ada, rumah hantu terlalu indah.” Mimpi buruknya seluruh kepala sekolah SMP Negeri
di daerah pinggiran. Disisi lain, amanat untuk terus bisa mendongkrak (meningkatkan)
jumlah peserta didik di sekolahnya adalah
yang selalu dipesankan atasan mereka.
Tidak
berhenti dalam rutinitas menerima peserta didik baru saja, kepala sekolah SMP
Negeri di daerah pinggiran juga mengusahakan dalam setiap rapat komite sekolah
yang diadakan meminta pemuka masyarakat,
alim ulama, dan cerdik pandai dilingkungan desa tersebut untuk ikut
menyemangati orang tua peserta didik agar menyekolahkan anak mereka di sekolahnya.
Bentuk
usaha lain yang dilakukan kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran itu untuk
meningkatkan jumlah peserta didik di sekolahnya adalah menerima bulat-bulat (dengan
mudah) peserta didik pindahan (selanjutnya disingkat PDP) dari sekolah lain. Bagi
kepala sekolah yang tidak mengajar di kelas si PDP tadi tidak akan ada masalah
lagi yang dihadapi setelah si PDP tadi belajar di kelas yang ditunjuk, karena
tidak tahu bagaimana cara belajar, dan beradaptasinya, dan baru merasa kena
getahnya (ikut kesal) jika ikut mengajar dikelas si PDP tadi, melihat cara
belajar mereka yang lebih banyak menimbulkan rasa kesal dari pada rasa enaknya.
Pada umumnya (tidak
semua) si PDP tersebut bermasalah dengan masalah adaptasi dengan lingkungan
baru, tidak kunjung mengerti orang lain kok bisa hidup enjoy (tenang) dengan
segala kekurangan yang mereka miliki, dan tidak menyadari saat ini hidup dan
tinggal ditempat yang sangat berbeda dibandingkan dengan tempat tinggal yang
lama. Akibatnya ketidak mampuan menyesuaikan diri ini diungkapkan dengan sering
bolos di jam pelajaran tertentu, tidak hadir tanpa berita sekian hari, iseng
mengganggu teman sekelas atau lain kelas, tidak bisa menunjukkan ijazah
terakhir, adalah sebagian besar bentuk tingkah laku aneh, kalau tidak boleh
dibilang ganjil, si PDP tersebut. Intinya mereka mencari kompensasi
(perimbangan) dari ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi
problem maker (pembuat masalah) di
kelas dan sekolah yang dimasukinya.
Jika
ditelusuri kebelakang, ada tiga kategori PDP ini. Satu, dikarenakan mengikuti
orang tua; dua, karena disipak (diberikan surat pindah untuk bersekolah di
tempat lain saja, karena disekolah asal tidak bisa lagi dibina), dan ketiga drop out (memakzulkan diri sendiri dari
sekolah), dan ingin sekolah lagi tapi tidak disekolah yang sama.
Pada kategori satu
diatas, hampir tidak ada masalah yang ditimbulkannya di lingkungannya yang
serba baru karena mereka masih mementingkan pendidikan diatas segala-galanya.
Keadaan akan bercerita lain pada si PDP kategori kedua dan ketiga diatas.
Sesuai kebiasaan, PDP pada kategori dua dan tiga ini memilih duduk di bangku barisan belakang,
khawatir tidak diterima oleh kawan sekelas dalam pergaulan di kelas. Dalam minggu-minggu
pertama belajar, mereka akan mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan
mencari teman yang seide. Namun ketika teman yang se-ide sudah didapat,
waktunya baginya untuk mencari kompensasi ketinggalan pelajaran tadi dengan
mengganggu teman sekelas, baik dengan lisan atau perbuatan. Bahkan pernah ada, si
PDP ini karena setahun lebih tua dari teman sekelasnya menjadi jagoan di
kelasnya, jika dia membutuhkan sesuatu yang tidak ada padanya di dalam kelas
seperti penggaris, atau penghapus, maka dia akan mengambil saja dari atas meja
kawannya tanpa meminta izin terlebih dulu. Hal ini tentu merupakan gangguan
bagi peserta didik lainnya di kelas itu, namun kesemuanya tadi larut dalam
maaf, dan mencuat ke permukaan saat ada peserta didik lain yang mengadukan
pelecehan yang dilakukan si PDP tadi kepada guru di kantor majelis guru.
Ketika si SI PDP tadi
dipanggil ke kantor majelis guru, jadilah dia bulan-bulanan guru, terutama guru
wanita yang mengajar dikelasnya. Ada-ada saja tambahan berita buruk tentang si PDP
tadi yang mengemuka. Akhir dari interogasi itu adalah kepada si PDP tadi
disuruh membuat surat perjanjian untuk tidak lagi mengganggu teman, mengambil
peralatan belajar teman sekelas tanpa izin, dan menjadi jagoan di kelas.
Yang namanya anak-anak
dengan kecendrungannya yang mudah lupa, selang beberapa waktu kemudian
melakukan lagi kesalahan yang hampir sama, bahkan walau sudah surat perjanjian
ketiga dibuat yang dibubuhi materai yang berisi pernyataan bersedia dirumahkan
atau pindah sekolah kalau masih melakukan pelanggaran tadi namun masih
melakukan lagi kesalahan yang hampir sama.
Disisi
lain, rata-rata peserta didik pada kategori kedua dan ketiga diatas bermasalah
dengan kemampuan akademiknya, karena memang sudah ketinggalan beberapa kegiatan
pembelajaran sebelumnya karena mengurus surat pindah dan mendaftar di sekolah
baru di tempat belajarnya sekarang. Sebuah gambaran dari salah seorang PDP dengan
inisial “IA”, dari sebelas bidang studi yang diikutinya pada sekolah terdahulu,
di dalam rapornya tertulis hanya bidang studi pilihan (Pendidikan Ilmu Al
Qur’an) dan mulok (muatan lokal) yang tuntas sebatas KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimun- yaitu nilai paling rendah yang harus dicapai), sedangkan nilai bidang
studi lainnya dalam keadaan tidak tuntas yang bervariasi.
Sebagai
langkah pembenaran diri oleh Kepala SMP
Negeri di daerah pinggiran yang telah menerima PDP tadi dan penolakan dari
kalangan guru dengan kemampuan akademik si PDP tadi yang sangat rendah, dengan
spontan ditanggapi oleh kepala sekolah daerah
pinggiran tadi dengan pemberian
bimbingan belajar (sesuatu yang tidak pernah sempat terlaksana karena desakan untuk
mengajarkan rincian pelajaran yang telah direncanakan).
Kepala
Sekolah dalam hal ini, sebagai yang terkemuka dalam menerima si PDP ini
benar-benar disudutkan pada keadaan “makan
buah simalakamo”;(maksudnya dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu pergi
atau maju kena mundur kena atau dilemna).” Intinya, keuntungan yang diperoleh
dengan diterimanya si PDP ini adalah disamping bertambahnya jumlah peserta
didik yang ada di sekolah itu juga bertambahnya jumlah dana B.O.S yang diterima
dan bisa dikelola. Jika tidak diterima, jelas akan mendapat teguran dari Kepala
Dinas Pendidikan karena meniadakan hak mendapatkan pendidikan untuk PDP tersebut.
Melihat
semua keadaan diatas, kepada orang tua PDP terbesit sebuah pengharapan agar
memberikan perhatian ekstra terhadap rutinitas kedatangan dan kepulangan
anaknya ke dan dari sekolah. Karena tidak sulit bagi si PDP ini mengecoh orang
tua mereka, dan dengan bermodalkan pakaian sekolah pada pagi hari dan waktu
teman-teman mereka pulang, merekapun pulang sama dengan mereka. Tapi apakah
dengan berpakaian begitu mereka sudah pasti pergi ke sekolah, tidak. Banyak
diantara mereka menghabiskan waktu dengan bermain game di play station sebagai
tempat yang mereka nilai memberikan kenyamanan tersendiri buat mereka. Hal itu
adalah tidak mungkin diantisipasi oleh guru di sekolah, karena terbatasnya
waktu dan banyak peserta didik lain di kelas yang harus lebih diperhatikan.
Ada diantara si PDP tidak
menjadikan masalah kepindahan mereka ke sekolah, rumah dan lingkungan baru,
namun tidak terhitung pula jumlahnya diantara mereka yang malah bertingkah laku
sebaliknya. Pendekatan dari orang tua mereka yang berterima kepada sianak dalam
hal ini adalah sangat diperlukan. Tidak kalah penting juga bagi orang tua
peserta didik pindahan ini mengetahui tempat, teman bermain, serta aktivitas
keseharian anaknya dilingkungan yang serba baru.
Kepada
pengambil keputusan penerima si PDP di sekolah dengan tanpa tujuan mengajari,
karena siapa diantara kita yang mau diajar apalagi ditampar, (maaf, sedikit
ngelantur), diharapkan agar memberlakukan tekhnik penerimaan bersyarat kepada si
PDP selanjutnya yang akan mendaftar. Aplikasi dari tekhnik penerimaan bersyarat
ini adalah pengklasifikasian si PDP tersebut pada tiga kategori, kategori satu
adalah PDP dengan maksimal empat nilai rapor semester terakhir merah, kategori
dua adalah PDP dengan maksimal delapan nilai rapor semester terakhir merah, dan
kategori ketiga adalah PDP dengan maksimal 10 nilai rapor semester terakhir
merah. Khusus kepada PDP dari kategori dua dan ketiga diharuskan melalui tiga
bulan pertama sejak mereka mendaftar menulis sebuah surat perjanjian
(bermaterai untuk penguatan) berstatus peserta didik bersyarat dengan tidak
bertingkah laku sebagai sumber perkelahian, kedapatan merokok, dan pernah absen
/ bolos di jam belajar dan dari lingkungan sekolah di jam sekolah. Dan jika si
PDP ini bisa melalui tiga bulan pertama ini tanpa pernah sekalipun melanggar isi
perjanjian yang telah ditulis, dinyatakan diterima disekolah yang dimasukinya. Bahkan
kalau perlu, peserta didik pindahan yang bisa melalui tiga bulan pertama itu
dengan hasil baik, diberi hadiah tertentu, tidak perlu yang mahal, untuk
memotivasinya terus bertingkah laku baik. Jika ditanyakan kenapa harus tiga
bulan, karena tiga bulan itu adalah waktu yang sudah sangat lama untuk bisa
dilalui dengan baik oleh seorang PDP yang memang nakal untuk tidak bertingkah
laku sesuai persyaratan penerimaan tadi.
Maksud
dari semua ini juga adalah mengajak kita semua untuk mau memperhatikan kembali
petuah orang tua kita “ditukuak mako
kakurang” Ditambah makanya berkurang. Sesuatu yang ditambah idealnya adalah
menambah nilai dari suatu barang atau keadaan, anehnya yang terjadi dalam penerimaan
PDP ini adalah hal yang sebaliknya. Keberadaan peserta didik pada kategori
kedua dan ketiga ini hanya menambah masalah saja, diluar masalah yang sudah
ada. Siapapun PDP yang ingin bersekolah, adalah kewajiban kita untuk memberi
mereka bekal kehidupan berupa ilmu pengetahuan, namun kepada mereka perlu
diberikan suatu ketetapan pengendalian diri agar dengan itu mereka benar-benar
menjaga sikap dan tingkah laku mereka dan ikut bertanggung jawab menjaga nama
baik sekolah yang sudah terjaga dan tidak tercoreng karena ulah dan kehadiran
mereka.
Diakui,
masalah menerima si PDP adalah hak perrogratif kepala sekolah. Namun apa arti keikut-sertaan
kepala sekolah mengeluhkan sikap si PDP dihadapan guru saat jam istirahat di kantor majelis
guru, dan pada waktu berbeda menerima tanpa aling-aling (syarat) peserta didik
pindahan dari sekolah lain. Atau semuanya itu hanya baso (kepura-puraan) yang
sudah kamseupai (kampungan sekali dan payah). Padahal masalah dasarnya adalah adanya
kemauan untuk mau menerapkan penerimaan bersyarat tersebut.
Semoga
sesudah mengenali adanya sistem penerimaan bersyarat kepada peserta didik
pindahan ini segenap kepala sekolah di daerah pinggiran bersedia menerapkannya
di sekolahnya, karena terlarang tidak memberi kesempatan belajar kepada mereka,
namun kita juga tidak mau di pecundangi oleh tingkah laku mereka yang tidak
baik. Selamat mencoba, wass.
Februari 24, 2014
Tunjangan sertifikasi terkini
Jangan heran jika anda pembaca sekalian bertemu dengan sosok guru tertentu di sebuah sekolah yang selama ini anda ketahui bukan tempatnya mengajar semula, cikgu(panggilan terhadap guru versi bahasa Malaysia) tersebut dimungkinkan sedang menambah jam mengajar-nya di sekolah tersebut. Pemandangan ini terjadi hampir di segala jenjang pendidikan yang ada baik pada pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Kesemuanya ini terjadi adalah untuk tujuan mencukupkan jam mengajar-nya minimal 24 jam.
Masalah kualitas pengajarannya jangan ditanyakan, apakah mungkin dengan beban mengajar-nya rata-rata 4 jam x 6 hari dinas, akan mampu melaksanakan pembelajaran yang bermakna dan bermutu, sesuatu yang dipertanyakan. Yang ada adalah ke-terburu-buru-an berpindah-pindah mengajar dari sekolah A ke sekolah B.
Terjadinya sekian orang guru terpaksa mencari tambahan jam mengajar ke sekolah lain adalah karena jumlah jam mengajar-nya di sekolah semula yang sangat kurang. Hal ini terlihat sekali pada sekolah yang berada di daerah pinggiran dan pedesaan dimana jumlah peserta didiknya banyak yang minim. Adapun jarak yang harus ditempuh kadang berjarak sampai 20 km dari sekolah semula. Hal ini tentu akan berimbas kepada kondisi mental cikgu tersebut dalam penyajian pembelajaran-nya.
Pada sisi lain khususnya buat cikgu yang baru menerima sertifikat sertifikasi-nya pada tahun 2013 adalah mereka-mereka yang harus menanggung risiko menerima kekurangan jam mengajar-nya dan banyak diantara mereka yang harus rela tidak menerima tunjangan sertifikasi karena ketiadaan lagi tempat menambah jam mengajar karena sudah diambil terlebih dahulu oleh penerima sertifikasi tahun terdahulu.
Timbulnya kecemburuan sosial dengan adanya guru profesional yang tidak dapat menerima tunjangan sertifikasi karena kekurangan jam mengajar (tidak cukup 24 jam) adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari terjadi. Walau pada kenyataannya ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dengan diluncurkannya program sertifikasi ini.
Persatuan Guru Republik Indonesia selaku yang di tua-kan se-langkah untuk menjembatani problem yang terjadi antara guru se Indonesia dengan pemerintah Republik Indonesia telah memberikan usulan kepada Dinas Pendidikan Nasional agar jam mengajar wajib guru penerima sertifikasi ini diciutkan menjadi 18 jam saja, sampai saat tulisan ini dibuat hasil usulan tersebut masih dalam penantian.
Pada sisi lain khususnya buat cikgu yang baru menerima sertifikat sertifikasi-nya pada tahun 2013 adalah mereka-mereka yang harus menanggung risiko menerima kekurangan jam mengajar-nya dan banyak diantara mereka yang harus rela tidak menerima tunjangan sertifikasi karena ketiadaan lagi tempat menambah jam mengajar karena sudah diambil terlebih dahulu oleh penerima sertifikasi tahun terdahulu.
Timbulnya kecemburuan sosial dengan adanya guru profesional yang tidak dapat menerima tunjangan sertifikasi karena kekurangan jam mengajar (tidak cukup 24 jam) adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari terjadi. Walau pada kenyataannya ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dengan diluncurkannya program sertifikasi ini.
Persatuan Guru Republik Indonesia selaku yang di tua-kan se-langkah untuk menjembatani problem yang terjadi antara guru se Indonesia dengan pemerintah Republik Indonesia telah memberikan usulan kepada Dinas Pendidikan Nasional agar jam mengajar wajib guru penerima sertifikasi ini diciutkan menjadi 18 jam saja, sampai saat tulisan ini dibuat hasil usulan tersebut masih dalam penantian.
Langganan:
Komentar (Atom)